Ngeceng Juga Ada Etikanya (Bagian 1)

Breaking News100 Views

Ketika pesan itu sudah keluar dari mulut kita, sudah bukan milik kita, tapi milik khalayak yang menerimanya, khalayak akan bebas menafsirkan, memaknai apa pun. Segala bentuk permohonan maaf, sudah dilakukan baik pada “korban” maupun khalayak luas. Sifat irreversible tidak dapat diulang, menjadikan permohonan maaf, seperti tidak berlaku dan berpengaruh buat publik netizen. Malah setelah minta maaf, dengan gaya dan karakter dai, malah jadi konten baru lagi untuk para netizen .

Atas kejadian tersebut jadi ingin menuliskan kembali intisari hasil penenelitian Darmani yang pernah saya baca, dan saya arsipkan perihal Ceng-cengan sebagai tradisi lisan di masyarakat Betawi tahun 1990 silam. Saya sangat menikmati hasil penelitiannya, yang berjudul) “Peranan Bahasa Dalam Budaya Komunikasi” studi mengenai ceng-cengan pada masyarakat Betawi di Kemayoran. Salah satu aspek kebudayaan khas yang dimiliki masyarakat Betawi ialah apa yang dikenal dengan ngeceng, dan ceng-cengan.

Semoga relevan dengan jagat publik yang sedang riuh rendah membicarakan pernyataan “Sang Da’i”, yang mungkin bisa jadi maksudnya Ngeceng. Tapi ternyata menurut Darmani (1990), Ngeceng juga ada etika, dan sopan-santunya, dan pertimbangan situasi waktu dan tempatnya. Berikut saya sampaikan intisari perihal ceng-cengan tradisi lisan yang ada pada masyarakat Betawi ini,

Ngeceng sebagai Aktivitas Komunikasi

Ngeceng, ledek-ledekan, berseloroh, guyon dan sebutan lainnya, sifat yang cukup menonjol bagi kebanyakan orang Betawi. Humor mempunyai hubungan erat dengan Ceng-cengan yang merupakan topik pembahasan tulisan ini. Ceng-cengan yang merupakan kegiatan komunikasi bernada senda gurau itu dalam dialog memang penuh dengan humor. Sehingga tidak mengherankan kalau kegiatan itu berlangsung banyak disertai dengan gelak tawa. Sebagai aktivitas komunikasi Ngeceng, tetap harus memeperhatikan etika.